Rabu, 28 Maret 2012

Membaca & Memahami Cerita Alkitab oleh Pdt. Dr. J. A. Telnoni


Alkitab adalah Kitab suci umat kristiani. Karena kedudukan ini maka tiap-tiap kali umat kristiani membacanya untuk mendengarkan firman Allah. Kedudukan Alkitab dan sikap umat yang demikian adalah dua hal yang sudah jelas. Akan tetapi karena itu pula muncul satu kesulitan tersendiri, yaitu bagaimana cara membacanya untuk mencapai maksud umat yaitu mendengarkan firman Allah.
Firman Allah sendiri tidak identik dengan Alkitab. Artinya tidak otomatis bahwa firman Allah terikat dengan kata-kata yang terdapat di dalam Alkitab. Lalu bagaimana caranya untuk membaca Alkitab dan mendengarkannya. Firman Allah bisa didengarkan dari Alkitab jika kita menerima Alkitab sebagai “alat” yang dipakai TUHAN untuk menyampaikan suatu pesan kepada kita. Dalam tahun-tahun terakhir ini, salah satu cara yang dipakai untuk maksud ini ialah mendengarkan apa yang diceritakan sebagai cerita.  Jadi satu cerita harus didengarkan dengan sungguh-sungguh dalam setiap unsurnya.

Apakah unsur-unsur dari suatu cerita?

1.      Struktur.
Struktur cerita adalah bagian-bagian dari satu cerita yang kait mengait satu dengan yang lain. Ini terdiri dari tindakan –tokoh – setting – sudut pandang.       

2        Plot/alur cerita
Alur cerita terdiri dari pendahuluan, perkembangan dan penutupnya. Penutup bisa menjadi klimaks atau anti klimaks. Lih. Cerita anak terhilang (Luk. 15).     

3        Karakter.
Ini bergantung pada peranan tokoh. Tokoh Abram itu baik kalau kita baca cerita tentang Sodom dan Gomora (Kej. 19). Di situ ia berjuang mati-matian membela nasib orang Sodom dan Gomora. Tetapi ia bukan tokoh yang jujur dalam cerita tentang kepergiannya di Mesir (Kej. 12:10f). Dia penipu. Jadi satu tokoh bisa berwatak ganda.
Karakter atau watak cerita bergantung pada tokohnya. Kalau tokohnya marah-marah, ceritanya demikian. Tetapi kalau tokohnya penuh belas kasihan, ceritanya akan begitu seperti bapa dalam cerita anak terhilang (Luk. 15).

4.   Konflik.
Konflik sulit dihindari. Konflik dapat berupa konflik batin dalam diri satu orang, atau panas hati terhadap orang lain seperti Kain yang panas hati terhadap Habel (Kej. 4:1-15). Tetapi konflik juga bisa terjadi pada Tuhan. “Lalu menyesallah Tuhan karena kejahatan manusia …” (Kej. 6:7).

5.      Waktu dan tempat.
Waktu yang dimaksudkan adalah waktu dalam cerita. Bukan urutan waktu dalam sejarah. Waktu bisa malam, bisa pagi, bisa siang. Kalau kita membaca cerita tentang iu-ibu yang hendak merempahi  mayat Yesus, ya waktunya pada pagi-pagi hari. Sedangkan waktu dari cerita tentang Yesus yang berdoa di taman Getsemani, ya malam hari. Yesus membersihkan Bait Allah menjelang perayaan Paskah orang Yahudi (Yoh. 2:13).
Tempat dari suatu cerita harus diperhatikan secara teliti. Jangan sampai kita sudah punya anggapan sendiri tentang hal ini. Kalau kita baca cerita tentang tiga orang Majus menemukan Yesus di Betlehem, kita harus hati-hati. Yang bilang bayi itu dibungkus dan dibaringkan dalam palungan kan kata malaikat kepada para gembala (Luk. 2:12; bd. 1:7). Bukan cerita tentang para majusi. Cerita tentang orang Majus bilang mereka temukan Yesus di rumah (Mat. 2:11).

6.      Tempat/setting.
Tempat suatu cerita tidak terbatas pada lokasinya. Lebih dari pada itu lokasi itu juga punya suasana/atmosfeer. Kalau dibilang Yesus berpuasa di padang, suasana padang itu penting untuk diketahui. Ada suasana tertentu pada tempat yang disebutkan. Padang penuh dengan bahaya dan ancaman terhadap kehidupan. Kurang air, banyak binatang buas, kurang terlindung dll. Kalau rumah lain lagi. Di sana ada suasana keluarga, dengn segala suka dan duka,  tempat orang beristirahat, tempat orang membangun nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan, dll.              

7.   Gaya bercerita.
Yang terpenting di sini ialah penngulangan. Kalau cerita tentang keturunan Adam (Kej. 5) dibaca, ada pengulangan pada akhir cerita setiap orang: “ lalu ia mati”. Pengulangan seperti ini bukan sesuatu yang basa basi, melainkan hendak menekankan suatu maksud. Dalam banyak cerita pengulangan ini bisa menentukan motif cerita, tema, urutan tindakan atau apa yang mau ditampilkan.
Tetapi kalau ada sesuatu yang hanya sekali saja disebutkan itu juga harus diperhatikan. Semua tokoh dalam Kej. 5 mengakhiri kehidupan masing-masing dengan kematian, tetapi Henok diangkat ke surga. Ini satu hal yang penting.

8        Narator/pembicara.
Inilah tokoh paling misterius yang tidak pernah  muncul, tetapi pasti kedengaran suaranya. Ketika kita membaca ceritanya, dia seolah-olah adalah satu saksi mata karena dia tahu dan menguasai seluruh jalan ceritanya.  Cerita penciptaan langit dan bumi (Kej. 1) menampilkan pembicara/narator sebagai saksi mata dari apa yang Allah buat, pada hal sejak ayat 1 belum dikatakan bahwa sudah ada orang lain karena manusia sudah diciptakan. Baru pada ay. 27 dibilang bahwa manusia diciptakan. Begitulah gaya narator.
Atau riwayat Nuh (Kej. 6:9-22). Narator tahu semua tentang Nuh dan  ukuran kapalnya. Tetapi siapa dia, kita tidak tahu.
Kadang-kadang narator itu berdiam diri. Atau dia mengatakan sesuatu dan pembaca “mendengar” tetapi tokoh yang berperan tidak tahu apa-apa. “Sesudah semuanya itu Allah mencobai Abram” (Kej. 22:1). Selanjutnya yang Abram tahu ialah ia disuruh Allah mempersembahkan anaknya, tetapi  tidak dibilang kepadanya bahwa dengan jalan itu ia dicobai. Narator jadi pihak 1, berbicara kepada siapa yang membaca Alkitab, Abram jadi pihak 3a, Allah jadi pihak 3b.
Patut diperhatikan bahwa apa yang mau disampaikan itu ada di tangan narator. Dari dialah kita tahu perspektif ceritanya. Itulah inti pesan yang hendak disampaikan dan harus didengarkan.

Pada akhirnya patut dicatat bahwa kedudukan dan sikap pembaca Alkitab juga penting. Yang harus diperhatikan oleh pembaca Alkitab ialah membebaskan diri dari pengertian awal yang sudah dimiliki sendiri. Bisa saja ada pikiran awal yang cocok dengan apa yang tertulis dalam Alkitab, tetapi bisa juga ada yang tidak cocok. Karena itu diperlukan keterbukaan untuk mendengarkan apa yang sebenarnya dikatakan Alkitab sebagaimana adanya. Tentu di sini harus ada kesediaan untuk mendengar lagi apa yang sudah lebih dalam dipelajari orang lain sesuai dengan disiplin studi Alkitab.

Mempersiapkan renungan

Kalau Alkitab didengarkan untuk direnungkan dann dikhotbahkan, beberapa langkah perlu diperhatikan:
1.    Doa tentu tidak dipersoalkan lagi.
Doa untuk memohon bimbingan Tuhan sudah jelas merupakan syarat utama untuk mendengarkan apa yang dikatakan dalam satu bagian Alkitab.
2.    Mencatat apa yang dibaca (= didengar) sesuai dengan jalannya cerita yang dibaca.
Catatan seperti ini merupakan sikap bertanggungjawab supaya apa yang didengrkan tidak diselewengkan. Cara ini tidak merupakan penyangkalan terhadap kuasa Tuhan, melainkan merupakan wujud dari pengakuan akan hikmat Tuhan yang diterima dengan penuh tanggungjawab.
3.    Menentukan apa yang menjadi pokok utama dari renungan. Satu bacaan akan terdiri dari banyak aspek. Tetapi yang harus diperhatikan ialah apakah pesan yang mau disampaikan dalam satu cerita atau satu bacaan. Itulah yang harus dijadikan tekanan utama.

Bagaimana merumuskan suatu renungan.
Renungan adalah bentuk pemberitaan friman Allah. Cara menyampaikannya sudah tentu memakai metode yang cocok, teratur dan mudah ditangkap maksudnya. Renungan terdiri dari pembukaan, isi dan penutup.

Pembukaan.
Pembukaan atau pengantar adalah bagian yang dianggap sebagai pembuka jalan untuk menyampaikan maksud di dalm isinya. Pembukaan dapat dilakukan dengan mengangkat contoh kehidupan nyata yang langsung berkaitan dengan pokok pemberitaan yang akan diungkapkan dalam isi renungan. Pembukaan jangan sampai mengaburkan, apalagi menggeser  isi renungan. Pembukaan janganlah menjadi cerita yang berdiri sendiri melainkan harus langsung berkaitan dengan isi renungan yang henak disampaikan. Harus selalu diingat bahwa pembukaan hanyalah jalan masuk.
Isi.
Isi renungan adalah pembahasan dari isi pokok (= inti) bacaan. Isi renungan itu dibahas aspek-aspeknya dan langsung dikenakan/diterapkan dalam kehidupan pendengar atau jemaat. Menyampaikan isi renungan sama dengan makan nasi, lauk  dan sambalnya. Semuanya diramu menjadi satu dan dikunyah untuk ditelan satu demi satu bagian. Jangan memabahas semua aspek dari isi pokok renungan dan baru kemudian membahas penerapannya. Itu akan membosankan.
Penutup.
Penutup adalah kesimpulan dari satu renungan. Setelah isi renungan dibahas dan diterapkan, harus dilihat kecenderungan terkuat dari pembahasan itu. Mungkin pembahasannya bersifat menghibur. Kalau demikian  penutupnya harus menghibur dan menguatkan jemaat. Kalau sifatnya pengharapan, maka penutupnya haruslah mengajak jemaat untuk tetap berharap kepada Tuhan. Kalau sifatnya adalah penugasan maka penutupnya adalah ajakan kepada jemaat untuk memperhatikan tugas pengutusan di tengah dunia ini.

4 komentar:

  1. Typical tulisan seorang liberal. Tartau Telnoni tau dari mana bahwa Alkitab bukan Firman Tuhan?

    BalasHapus
  2. :) lahir dari kritik sejarah bu MaKuru... :)

    BalasHapus
  3. komentar lanjut dari Ma Kuru Paijo Budiwidayanto tentang tulisan ini: http://whereisthewisdon.wordpress.com/2012/03/29/makanan_busuk/

    BalasHapus
  4. Apa itu kritik sejarah dan apa proposisi yang dihasilkan oleh kritik sejarah yang mengharuskan kesimpulan bahwa Alkitab bukan Firman Tuhan? Papa pedita lai bisa kasih pencerahan ko?

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.