Bumi tetap konsisten dengan rotasinya.
Matahari pun tak berubah warna menjadi biru atau ungu janda. Sedangkan
sang embun tetaplah menjadi tamu setia sang pagi, menghinggapi daun-daun
memancarkan bulir-bulir segar berkilau, menyilaukan burung-burung pipit
yang serius membulatkan matanya. Waspada. Memelototi coklatnya tanah,
mencari-cari cacing-cacing yang siap mereka mangsa untuk membuat kenyang
perut anak-anak mereka.
Hari ini bukan
hari pendidikan, hari pahlawan, atau hari gibu. Bahkan, tak ada
tanda-tanda warna merah di kalender untuk menjadi perhatian Sabtu ini.
Sabtu tetaplah bernama Sabtu tetapi seolah-olah hari ini hari
menghebohkan dan menjadi hari yang lebih istimewa dari hari apapun. Dari
anak kecil, muda, sampai tua nampak sibuk sekali memikirkan hari ini.
Termasuk aku. Linu menyerang mendengar teman-teman heboh membicarakan
rapor mereka, pusing melihat puluhan orangtua antre di depan loket
pembayaran, berebut mendapatkan selembar kwitansi sebagai tebusan untuk
dapat menerima rapor anak-anak kebanggaan mereka. Dasar sekolah jaman
sekarang!
Siswa
lain biasanya menunggu cemas-cemas di depan kelas, melongok apakah
orangtua mereka sudah mendapat giliran menerima buku hitam tersebut atau
belum. Mereka jeli mengendus bau orangtua mereka bahkan ketika orangtua
mereka baru mengangkat pantat 1 cm dari duduknya, seakan-akan mereka
bisa mencium lebih baik dari serigala. Tidak sabaran, kebanyakan
langsung saja menjambret rapor dari tangan orangtua mereka. Melupakan
etika permisi. Mata mereka menatap tajam pada sederetan serdadu angka.
Menyeringai bila mata mereka berhenti di angka sembilan dan sebaliknya
jika menghadapai angka-angka tak sesuai harapan, mereka membuang nafas
kecewa. Tak jarang, keluhan masih terdengar oleh mulut-mulut orang
jenius yang berhasil ranking satu. Perih aku mendengarnya. Apakah dia
tidak tahu kalau di depannya ada seseorang yang lebih-lebih sial dan
nista darinya? Itu aku. Bahkan memata-matai orangtuaku yang sedang
diceramahi wali kelas pun aku tak minat. Aku membiarkan saja raporku
dibawa pulang oleh orangtuaku tanpa aku lihat terlebih dahulu.
Setidaknya aku tahu bagaimana hasil kerjaku selama setengah tahun ini
dari sms ibuku yang sedikit emosi. Itu artinya aku harus segera pulang.
Dengan
ranking sejelek itu anehnya tidak ada perasaan menyesal yang begitu
besar. Bersyukur. Satu kata itu yang selalu aku pegang dalam keadaan
apapun. Bersyukur karena setidak-tidaknya ranking jelek itu aku dapatkan
dengan cara yang masih menghormati tradisi. Setidaknya aku tidak
seperti mereka yang terlihat sangat menyedihkan saat menghadapi orangtua
yang tersenyum penuh kemenangan karena anaknya mendapat ranking
memuaskan dengan cara tidak terhormat . Berpuas-puaslah mereka dengan cara mereka sendiri.
Sementara
aku di sini, dipandang sebelah mata oleh beberapa guru yang sangat
prihatin melihat nilai-nilaiku. Miris melihat guru Bimbingan Konselingku
terperanjat kaget karena aku tidak lagi memenuhi syarat untuk ikut
SNMPT Undangan gara-gara rankingku di Semester IV tidak memenuhi 75% di
kelas. Aku tahu tatapannya jelas-jelas menganggap aku sebagai siswanya
yang bodoh. Guru ini beristighfar. Merasa kasihan dengan nilai jelek
hasil kejujuranku? Hatiku sakit teriris sembilu. Kenapa tidak ibu simpan
saja istighfar itu untuk menghadapi anak-anak ibu yang bernilai bagus
hasil memupuk dusta? Jangan tatap aku seperti itu, Bu! Aku tidak perlu
dikasihani karena aku tidak menyedihkan. Kasihani saja murid-murid ibu
yang terpojok, terpelosok, dan tersogok dengan cara-cara haram itu.
Sedih.
Sedih sekali ketika nilai kejujuran entah kapan sudah mengikis tipis.
Guru-guru tak benar-benar peduli dengan kejujuran meskipun mereka sering
mengingatkan muridnya untuk bertindak jujur. Buktinya, aku dipandang
rendah dengan nilai-nilai yang aku dapat dari hasil usaha sendiri
sementara teman-teman yang dikatakan tidak jujur mendapat senyum puas
dari para guru. Padahal aku sangat tahu! Para guru tak tuli dan buta.
Mereka sebenarnya tahu siapa saja murid-murid mereka yang melakukan
kecurangan. Tetap saja, proses sudah tak lebih berharga dari hasil
akhir.
“Aah… pintar benar murid pembohong ini. Tidak seperti murid jujur bodoh itu.” Hahaha terkadang perasaan menyesakkan itu muncul. Tidak adakah point
plus untuk orang yang bodoh ini? Tidak adakah sedikit penghargaan untuk
usaha mandiriku? Ah, hanya Allah SWT yang benar-benar Maha Bijaksana.
Setidaknya aku tau DIA membelaku.
Aku menyedihkan?
Tidak.
Mereka menyedihkan?
Iya.
Iri?
Siapa bilang. Aku hanya merasa tidak mendapat keadilan.
Adil?
Ah, mungkin kata itu memang sudah tidak ada dalam kamus manusia bumi.
Bukan
berarti aku benar seratus prosen. Persaingan nilai sudah menjadi
sekeruh itu, tetapi masih saja tak ada usaha yang berarti untuk
membuktikan bahwa aku tidaklah sebodoh yang mereka kira. Aku terlalu
malas dan terlalu memusingkan tingkah mereka sehingga tak lagi fokus
dengan diriku sendiri. Parahnya agar tidak stress aku terlalu banyak
bermain. Masih belum sadar bahwa aku sudah menjadi anak kelas 12 yang
harus benar-benar belajar. Sedihnya, orangtuaku juga harus menerima
akibat dari tingkah anaknya yang kebanyakan polah.
Aku
sudah menyadari kebodohanku. Tentu saja aku tidak akan mempertahankan
kebodohanku itu. Aku harus lebih banyak belajar dan berhenti
mengecewakan orangtuaku. Peduli sundel dengan mereka dan cara mereka
yang busuk itu J itu pilihan mereka, mereka juga yang akan menuai. Ini
pilihanku, dan aku pula yang akan menuainya.
Mungkin
kalian berpikir tulisan ini sungguh lebay? Mungkin juga kalian melihat
aku sangat kontra dan anti dengan cara ‘itu’. Menurutku, bagi pelajar
labil yang mudah tergiur dengan keburukan dunia wajar saja untuk
melakukan cara ‘itu’. Aku masih normal. Dulu aku juga pernah mencoba
cara ‘itu’. Namun, apa yang aku hadapi sungguh di luar batas kewajaran.
Apalagi perlakuan-perlakuan para otak dangkal itu sungguh membuat kami
benar-benar muak.
Aku juga masih harus
banyak belajar. Jadi, ayo bersama-sama memulai mengargai diri kita
sendiri. Berhentilah bangga dengan nilai-nilai bagus yang tidak diridloi
agama karena itu terlihat menyedihkan. Tengoklah bumi pertiwi yang
sudah renta dan semakin ringkih. Prihatin kalau-kalau generasi mudanya
semakin mendzolimi tanah kelahiran mereka sendiri dengan korupsi.
Cepat-cepatlah sadar agar kalian tidak lagi merugikan banyak pihak.
Semoga kita semua dibukakan mata hatinya.
Semoga kita cepat berhenti membohongi orangtua, guru, dan diri kita sendiri.
Semoga kita berhenti merugikan orang lain.
Semoga kita berhenti mengecewakanNya.
Aamiin Ya Rabbal alamiin.
(sumber: postingan dari Indraswari Nur Imaniati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.