Selasa, 24 April 2012

Muak

Bumi tetap konsisten dengan rotasinya. Matahari pun tak berubah warna menjadi biru atau ungu janda. Sedangkan sang embun tetaplah menjadi tamu setia sang pagi, menghinggapi daun-daun memancarkan bulir-bulir segar berkilau, menyilaukan burung-burung pipit yang serius membulatkan matanya. Waspada. Memelototi coklatnya tanah, mencari-cari cacing-cacing yang siap mereka mangsa untuk membuat kenyang perut anak-anak mereka.

Hari ini bukan hari pendidikan, hari pahlawan, atau hari gibu. Bahkan, tak ada tanda-tanda warna merah di kalender untuk menjadi perhatian Sabtu ini. Sabtu tetaplah bernama Sabtu tetapi seolah-olah hari ini hari menghebohkan dan menjadi hari yang lebih istimewa dari hari apapun. Dari anak kecil, muda, sampai tua nampak sibuk sekali memikirkan hari ini. Termasuk aku. Linu menyerang mendengar teman-teman heboh membicarakan rapor mereka, pusing melihat puluhan orangtua antre di depan loket pembayaran, berebut mendapatkan selembar kwitansi sebagai tebusan untuk dapat menerima rapor anak-anak kebanggaan mereka. Dasar sekolah jaman sekarang!

Siswa lain biasanya menunggu cemas-cemas di depan kelas, melongok apakah orangtua mereka sudah mendapat giliran menerima buku hitam tersebut atau belum. Mereka jeli mengendus bau orangtua mereka bahkan ketika orangtua mereka baru mengangkat pantat 1 cm dari duduknya, seakan-akan mereka bisa mencium lebih baik dari serigala. Tidak sabaran, kebanyakan langsung saja menjambret rapor dari tangan orangtua mereka. Melupakan etika permisi. Mata mereka menatap tajam pada sederetan serdadu angka. Menyeringai bila mata mereka berhenti di angka sembilan dan sebaliknya jika menghadapai angka-angka tak sesuai harapan, mereka membuang nafas kecewa. Tak jarang, keluhan masih terdengar oleh mulut-mulut orang jenius yang berhasil ranking satu. Perih aku mendengarnya. Apakah dia tidak tahu kalau di depannya ada seseorang yang lebih-lebih sial dan nista darinya? Itu aku. Bahkan memata-matai orangtuaku yang sedang diceramahi wali kelas pun aku tak minat. Aku membiarkan saja raporku dibawa pulang oleh orangtuaku tanpa aku lihat terlebih dahulu. Setidaknya aku tahu bagaimana hasil kerjaku selama setengah tahun ini dari sms ibuku yang sedikit emosi. Itu artinya aku harus segera pulang.

Dengan ranking sejelek itu anehnya tidak ada perasaan menyesal yang begitu besar. Bersyukur. Satu kata itu yang selalu aku pegang dalam keadaan apapun. Bersyukur karena setidak-tidaknya ranking jelek itu aku dapatkan dengan cara yang masih menghormati tradisi. Setidaknya aku tidak seperti mereka yang terlihat sangat menyedihkan saat menghadapi orangtua yang tersenyum penuh kemenangan karena anaknya mendapat ranking memuaskan dengan cara tidak terhormat  . Berpuas-puaslah mereka dengan cara mereka sendiri.

Sementara aku di sini, dipandang sebelah mata oleh beberapa guru yang sangat prihatin melihat nilai-nilaiku. Miris melihat guru Bimbingan Konselingku terperanjat kaget karena aku tidak lagi memenuhi syarat untuk ikut SNMPT Undangan gara-gara rankingku di Semester IV tidak memenuhi 75% di kelas. Aku tahu tatapannya jelas-jelas menganggap aku sebagai  siswanya yang bodoh. Guru ini beristighfar. Merasa kasihan dengan nilai jelek hasil kejujuranku? Hatiku sakit teriris sembilu. Kenapa tidak ibu simpan saja istighfar itu untuk menghadapi anak-anak ibu yang bernilai bagus hasil memupuk dusta? Jangan tatap aku seperti itu, Bu! Aku tidak perlu dikasihani karena aku tidak menyedihkan. Kasihani saja murid-murid ibu yang terpojok, terpelosok, dan tersogok dengan cara-cara haram itu.

Sedih. Sedih sekali ketika nilai kejujuran entah kapan sudah mengikis tipis. Guru-guru tak benar-benar peduli dengan kejujuran meskipun mereka sering mengingatkan muridnya untuk bertindak jujur. Buktinya, aku dipandang rendah dengan nilai-nilai yang aku dapat dari hasil usaha sendiri sementara teman-teman yang dikatakan tidak jujur mendapat senyum puas dari para guru. Padahal aku sangat tahu! Para guru tak tuli dan buta. Mereka sebenarnya tahu siapa saja murid-murid mereka yang melakukan kecurangan. Tetap saja, proses sudah tak lebih berharga dari hasil akhir.

“Aah… pintar benar murid pembohong ini. Tidak seperti murid jujur bodoh itu.” Hahaha terkadang perasaan menyesakkan itu muncul. Tidak adakah point plus untuk orang yang bodoh ini? Tidak adakah sedikit penghargaan untuk usaha mandiriku? Ah, hanya Allah SWT yang benar-benar Maha Bijaksana. Setidaknya aku tau DIA membelaku.

Aku menyedihkan?

Tidak.

Mereka menyedihkan?

Iya.

Iri?

Siapa bilang. Aku hanya merasa tidak mendapat keadilan.

Adil?

Ah, mungkin kata itu memang sudah tidak ada dalam kamus manusia bumi.

Bukan berarti aku benar seratus prosen. Persaingan nilai sudah menjadi sekeruh itu, tetapi masih saja tak ada usaha yang berarti untuk membuktikan bahwa aku tidaklah sebodoh yang mereka kira. Aku terlalu malas dan terlalu memusingkan tingkah mereka sehingga tak lagi fokus dengan diriku sendiri. Parahnya agar tidak stress aku terlalu banyak bermain. Masih belum sadar bahwa aku sudah menjadi anak kelas 12 yang harus benar-benar belajar. Sedihnya, orangtuaku juga harus menerima akibat dari tingkah anaknya yang kebanyakan polah.

Aku sudah menyadari kebodohanku. Tentu saja aku tidak akan mempertahankan kebodohanku itu. Aku harus lebih banyak belajar dan berhenti mengecewakan orangtuaku. Peduli sundel dengan mereka dan cara mereka yang busuk itu J itu pilihan mereka, mereka juga yang akan menuai. Ini pilihanku, dan aku pula yang akan menuainya.

Mungkin kalian berpikir tulisan ini sungguh lebay? Mungkin juga kalian melihat aku sangat kontra dan anti dengan cara ‘itu’. Menurutku, bagi pelajar labil yang mudah tergiur dengan keburukan dunia wajar saja untuk melakukan cara ‘itu’. Aku masih normal. Dulu aku juga pernah mencoba cara ‘itu’. Namun, apa yang aku hadapi sungguh di luar batas kewajaran. Apalagi perlakuan-perlakuan para otak dangkal itu sungguh membuat kami benar-benar muak.

Aku juga masih harus banyak belajar. Jadi, ayo bersama-sama memulai mengargai diri kita sendiri. Berhentilah bangga dengan nilai-nilai bagus yang tidak diridloi agama karena itu terlihat menyedihkan. Tengoklah bumi pertiwi yang sudah renta dan semakin ringkih. Prihatin kalau-kalau generasi mudanya semakin mendzolimi tanah kelahiran mereka sendiri dengan korupsi. Cepat-cepatlah sadar agar kalian tidak lagi merugikan banyak pihak.

Semoga kita semua dibukakan mata hatinya.

Semoga kita cepat berhenti membohongi orangtua, guru, dan diri kita sendiri.

Semoga kita berhenti merugikan orang lain.

Semoga kita berhenti mengecewakanNya.

Aamiin Ya Rabbal alamiin.


 





(sumber: postingan  dari Indraswari Nur Imaniati)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.